Rabu, 02 Februari 2011

Edelweiss untuk Merlin


Ardian sedang mengepak barang-barangnya kedalam ransel. Besok petualang muda itu akan menjajal ketangguhan Gunung Soputan, Gunung yang ada di sulawesi utara. “kamu jadi berangkat, Ian?” “jadi”. Merlin memandang kekasihnya, seakan-akan kekasihnya akan pergi untuk selamanya. Ardian menyadari itu. “ada apa?” “Ah, nggak,” Merlin berusaha menutupi perasaan cemas yang sedang bermain-main di relung hatinya. Ardian mengusap-ngusap punggung telapak tangan merlin. “kamu cemas?” Merlin mengangguk lemah. “Biasanya kamu nggak begini?” “Entahlah, Ian...aku sendiri nggak mengerti dengan perasaanku.” “Merlin, bukan baru kali ini aku naik gunung,” Ardian membelai rambut Merlin. “Atau sebaiknya aku nggak usah pergi?” “ Jangan!..aku nggak bermaksud mengahalangi kamu.” “Kalau gitu... jangan cemas lagi, dong.” Gadis itu mengangguk.”Ingat lho, Ian, kamu janji mau merayakan ultahku bersama!” “Aku nggak lupa.” “Janji?” Ardian mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. “kamu mau aku bawain oleh-oleh?” “ Bawain aku bunga edelweiss, Ian!” “Untuk kamu, pasti aku bawain.” “thanks.” Ardian menengelamkan kepala Merlin ke dalam pelukannya.
Sudah seminggu lebih Ardian pergi ke Gunung Soputan. Selama selang wakut itu, hati Merlin digelendoti kecemasan. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Karena hampir seluruh malam yang ia lalui, dihiasi mimpi-mimpi yang sama. Merlin bermimpi melihat Ardian berdiri di tengah-tengah hamparan bunga mawar, yang warnanya memudar dan layu. “Apa mimpi-mimpi Merlin pertanda buruk Ma?” “Dari buku-buku tafsir mimpi yang pernah mama baca, seseorang yang bermimpi melihat bunga mawar yang warnanya memudar, itu pertanda kalau orang itu akan kehilangan seseorang yang dia cintai.” “Apakah itu artinya.... Merlin akan kehilangan Ardian, Ma?” Mamanya tersenyum. Wanita setengah baya itu mengusap-ngusap kening  anaknya. “Rupanya kamu sudah dipengaruhi mimpi-mimpi kamu, ya?” “Aku mencemaskan Ardian, Ma.” “Merlin, tafsiran mimpi itu belum tentu kebenarannya. Boleh jadi, mimpi-mimpi kamu hanyalah bunga tidur.” “Tapi, gimana kalau benar?” “Berdoa saja untuk keselamatan Ardian.” Merlin memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit, memanjatkan doa untuk kekasihnya. Namun itu semua tidak cukup membuat rasa cemasnya hilang. Apalagi sehari menjelang hari ulang tahun Merlin , Ardian belum juga menghubunginya. Beberapa kali dia menelpon kerumah Ardian, tapi tak ada yang mengangkat. Hp-nya pun tak bisa dihubungi. Kemana kamu Ardian?
Hari ulang tahun Merlin tinggal sehari lagi. Belum ada kabar dari Ardian, Ia gelisah menanti. Sejak tadi tak pernah lepas dari handphonenya Setiap kali handphone berdering, Ia berharap kalau itu dari Ardian. Jarum jam bergerak perlahan menuju angka 12. Beberapa saat lagi Merlin berhari Ulang Tahun. Tinggal lima detik lagi... dan Supriseeee,,, kejutan dari Mama, Papa dan adiknya. Akhirnya Merlin harus merayakan ulang tahunnya tanpa kehadiran kekasih disisinya. Ardian, pemuda itu belum juga kedengaran kabar beritanya. Sudah tigapuluh menit berlalu. Merlin masih berharap Ardian akan datang malam ini. Dia sudah janji! Namun hingga kelelahan membuat matanya terpejam, yang dinanti tak kunjung datang membawa hadia untuknya. Merlin merasakan sentuhan lembut membelai rambutnya yang panjang. Membuat dia membuka mata. Dari balik keremangan ruang kamar, dia bisa melihat dengan jelas wajah Ardian. Ardian?! Merin ngucek-ngucek kedua bola matanya dan mencari-cari dimana keberadaan kacamatanya. “Ardian.....!?” gadis itu melonjak kegirangan. “Aku menepati janjiku, bukan.”  Merlin menghambur ke dalam pelukan kekasihnya. “ Aku kira kamulupa pada janjimu.” Ardian tersenyum. Tetapi, seperti ada luka yang mebias diwajahnya. Dan tubuhnya.... tubuhnya dingin sekali. Dari sedikit cahaya yang menyelinap lewat jendela, Merlin mengamati wajah Ardian yang pucat. “Kamu sakit?” Merlin memegang kening kekasihnya. “Aku baik-baik saja.” “tapi tubuh kamu dingin sekali?” “Aku merasa sebaliknya. Pelukanmu membuat tubuhku terasa hangat.” Merlin kian merapatkan dekapannya. Sejenak keduanya saling melampiaskan kerinduan. “Aku membawa sesuatu untuk kamu, “ Ardian melepaskan pelukannya. Kemudian dia mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. “Ini hadiah ulang tahun dariku,” dia menyerahkan beberapa tangkai bunga edelweiss kepada Merlin, ditambah kecupan hangat di kening kekasihnya. Gadis manado itu melonjak kegirangan. “Makasih, Ian!” Dia membalas mencium kedua pipi Ardian. “Merlin,”ucap Ardian lirih. “Aku harus pergi sekarang.” “Jangan dulu! Aku masih kangen sama kamu!” Merlin merajuk. “Aku pun ingin begitu, Merlin.” “Lalu kenapa kamu mau pergi?” “Aku harus pegi.” “Tapi besok kamu ke sini lagi kan?” “Hanya kalau Tuhan mengijinkan.” Merlin tidak mengerti ucapan Ardian. Ardian menatap wajah kekasihnya lekat. Kemudian dia memeluk tubuh kekasihnya erat. Seolah-olah tak ingin melepaskan untuk selama-lamanya. “Kamu baik-baik saja kan, Ian?” Ardian melepaskan dekapannya. “Selamat tinggal, Merlin....”  Setelah mengucapkan kata-kata itu, dai pergi meninggalkan seribu tanda tanya di kepala Merlin. Gadis itu hanya berdiri terpaku memandangi kepergian kekasihnya. Hatinya sedang bergelut denga pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kembali dihinggapi kecemasan. Merlin menepuk-tepuk pipinya, memastikan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. Dan kenyataannya memang dia tak sedang bermimpi.
Ketika  Merlin terbangun dari tidur, tangannya masih memegang edelweiss pemberian Ardian. Dia mencium bunga yang menjadi lambang keabadian itu. Semoga hubungan cintanya bisa seabadi bunga-bunga edelweiss. Pintu kamar Merlin diketuk  tiga kali. “Siapa?” Pintu dibuka. Wajah papanya muncul dari balik pintu. “Boleh papa masuk?” “Papa....” Merlin menghambur ke dalam pelukan papanya. “Semalam Ardian datang, Pa. Dia memberikan edelweiss ini untukku!” Merlin menunjukan bunga-bunga pemberian Ardian. Binar bahagia terpancar dari sorot matanya. Mendengar cerita Merlin, wajah papa berubah menjadi tegang. “Kenapa, Pa?” Apa papa nggak suka?” “Bukan... bukannya papa nggak senang.” “Lalu kenapa wajah papa kelihatan tegang?” “Apa kamu yakin, kalau yang datang semalam itu Ardian?” “Tentu aja! Papa kenapa sih, kok jadi aneh begini?” Papa menarik nafas berat. “Ardian mengalami kecelakaan di gunung!” “Semalam dia baik-baik saja kok, Pa. Memang wajahnya agak pucat.....” “Papa nggak tau siapa yang menemuimu semalam, tapi..” Pria lima puluhan itu tampak ragu melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya ada apa sih, Pa?” wajah Merlin ikut-ikutan tegang. “Saat Ardian ditemukan oleh tim SAR... dia sudah tidak bernyawa!” “Apaaaaaaaaaaaa?? Nggak.....nggak mungkin, Pa!” “Tadinya papa juga nggak percaya. Makanya papa suruh mama ngecek ke rumah Ardian.” “Lalu?!” “Baru saja mama kamu telepon. Dan ternyata................” Merlin tak mau menunggu papa menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu segera pergi kerumah kekasihnya dengan tergesa-gesa. Dia ingin membuktikannya sendiri. Bendara setangah tiang yang berkibar  di jalan yang menuju rumah Ardian, membuat jantungnya berdetak kencang. Lebih kencang lagi, ketika dia melihat orang-orang berdatangan ke rumah Ardian berpakaian hitam-hitam. Merlin segera masuk ke dalam rumah Ardian. Dia melihat mamanya yang sedang menghibur maminya Ardian. Di depan mereka,, sebuah peti yang didalamnya ada sepotong jasad yang tak lagi bernyawa. Sepotong jasad milik..... Ardian?! “Ardiaaaaaaaaaaaannnn.......!!!!!!!!!!!”” Merlin menjerit histeris. Gadis itu tersungkur jatuh di depan jenasah membeku dan pingsan........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar